Sastra sebagai semiotik
Kehidupan
sebenarnya adalah tanda-tanda, kata para ahli semiotik Sastra adalah system
tanda. Tanda ( sign ) dipelajari dalam semiotik. Semiotik adalah ilmu tentang
tanda-tanda sastra juga merupakan sistem tanda karena sebenarnyalah alat
komunikasi untuk menyampaikan gagasangagasan dari penulis kepada pembaca, namun
demikian gagasan itu tidak disampaikan secara langsung dan disampaikan melalui
kemasan (baca:manipulasi)bahasa sehingga bersifat tidak langsung,ambigu, dan
intuitif inilah sifat sastra sejatinya.
Tanda
(sign) memiliki dua aspek yaitu penanda (signifier) danm petanda (signified)
penanda itu bersifat semena-mena (arbitrer) tergantung konvensi pemakainya. Petanda
adalah aspek bentuk sementara penanda adalah aspek isi (konsep) penanda
bersifat manasuka. Pandangan ini sebenarnya diilhami dari pandangan De Saussure
seorang ahli bahasa. Peirce membagi tanda ke dalam tiga golongan, jika dilihat
dari hubungan antara yangmenjadi penanda dan yang ditandai (petanda). Tanda
yang memiliki kemiripan hubungan disebut ikon.
Jenis tanda
yang kedua adalah index yaitu hubungan penanda dan petanda merupakan hubungan
sebab akibat contohnya adalah api dan asap, mendung dan hujan. Jenis ketiga
adalah symbol. Jenis ini tidak memiliki hubungan secara langsung ataupun sebab
akibat. Hubungannya bersifat konvensi dan semena-mena. Yang termasuk symbol
adalah bahasa. Sastra ditulis dengan bahasa jadi sastra merupakan system
semiotic. Namun bahasa yang digunakan adalah bahasa khas sehingga memahaminya
melalui konvensi bahasa dan sastra
Teuw (1984)
menyarankan bahwa untuk memahami sastra melalui konvensi bahasa,sastra dan
budaya. Kaidah linguistik digunakan untuk memahami teks sastra pada langkah
awal selanjutnya, teks dipahami dengan konvensi sastra dan langkah akhir
dipahami dengan konvensi budaya.
Berbagai pendekatan dalam sastra
Abrams
(1981) dalam the mirror and the lamp menyatakan bahwa sastra sebagai sarana
komunikasi dapat didekati dari aspek yaitu universe atau semesta,
ekspresi,pragmatik, dan objektif atau karya itu sendiri. Pendekatan semesta
atau mimesis adalah pendekatan yang menekankan pada segi alam semesta. Karya
sastra disebut baik jika membayangkan alam semesta atau tiruan alam.
Teori-teori yang muncul adalah teori lan Watt tentang sastra sebagai cermin
masyarakat atau teori Grebstein tentang sastra sebagai dokumentasi budaya.
Pendekatan
mimesis dirintis oleh Plato tahun 470an SM yang berpandangan bahwa kenyataan
sebenarnya hanyalah tiruan karena yang hakiki
Pendekatan
pragmatik menekankan bahwa karya sastra disebut baik jika memiliki fungsi bagi
masyarakat. Pendekatan ini menekankan pada segi pembaca dan sebenarnya hamoir
sama tuanya yaitu munculnya tulisan Horatius yang menyatakan bahwa sastra
haruslah dulce et utile indah tapi juga menyenangkan atau bermanfaat.
Pendekatan ini memunculkan teori seperti tepri resepsi sastra
iser,estetikaresepsi jauss
Pendekatan
ekspresif menekankan pada segi pengarang selaku pencipta. Teori yang muncul
dalam pendekatan ini terutama didominasi oleh psikologi tokoh.
Pendekatan
yang terakhittr dalah pendekatan objektif
menekankan segi objeknya yaitu karya sastra sebagai sesuatu yang otonom.
Karya sastra adalah peristiwa bahasa yang otonom dan memiliki makna yang
absolut. Munculnya pendekatan ini diilhami oleh buku Saussure yang melahirkan
gerakan strukturalisme. Teori ini dilengkapi oleh filsafat hermeneutik dan
strukturalisme sebagai teori sekaligus dapat digunakan sebagai metode analisis
dan pendektan terhadap karya sastra. Kelemahan strukruralisme yang mengasingkan
segi sosial dan sejarahnya dilengkapi oleh semiotik. Teori ini dapat digunakan
sebagai pendekatan sekaligus sebagai metode analisis
0 komentar:
Posting Komentar