rangkuman materi fonologi

Selasa, 10 Desember 2013



BAB I
PENDAHULUAN
Fonologi berasal dari kata
Fon yang berarti bunyi bahasa                                                                                                                                                                                     logi yang berarti ilmu, jadi                                                                                                                                    fonologi adalah ilmu yang mempelajari tentang bunyi bahsa                                                                                    Bunyi bahasa adalah bunyi yang dihasilka dari alat ucap manusia
Fonologi dibedakan menjadi 2 yaitu
1.       Fonetik adalah ilmu yang mempelajari bunyi bahasa yang tidak membedakan arti                                                            jenis-jenis fonetik yaitu :
a.       Fonetik akustik : ilmu yang mempelajari sifat-sifat bunyi
b.      Fonetik auditoris : bagaimana bunyi dapat didengar oleh telinga manusia
c.       Fonetik artikulatoris : bagaimana bunyi dapat dihasilkan oleh alat ucap manusia
2.       Fonemik adalah ilmu yang mempelajari bunyi bahasa yang dapat membedakan arti atau makna contoh : a,I,u,e,o

        I.            FONEM dan ALOFON
Fonem adalah bunyi bahasa yabg mempunyai fungsi sebagai pembeda makna sedangkan                                                   Alofon adalah bunyi bahasa yang tidak mempunyai fungsi sebagai pembeda makna atau merupakan realisasi  dari fonem                                                                                                                                                                                                             contoh : kudu [kudu] >< kuru [kuru]                                                                                                                                                                  ‘harus’                  ‘kurus’
      II.            Kriteria Alofon
Alofon dapat terjadi pada lingkungan yang sama karena adanya keterbatasan alat ucap atau dapat pula terjadi karena adanya saling berpengaruh gerak pada alat ucap manusia. Hubungan antar alofon dapat bersifat distributif komplementer jika terjadi perbedaan alofon, perbedaan alofon itu sering disebut perbadadan alofonis, perbedaan alofonis ini sering pula disebut perbedaan fonetis jika terjadi perbedaan fonem perbedaan itu disebut perbadaan fonemis
    III.            Pasangan Minimal
Pasangan minimal digunakan untuk mencari perbedaan sesedikit mungkin bunyi-bunyi yang terdapat dalam dua kata pada stu bahasa atau pada bahasa yabg sama.


Bunyi dapat digolongkan sebagai fonem dengan cara membandingkan bunyi yang satu dengan bunyi yang lain dalam satu lingkungan yang sama. Perbadaan minimal tersebut lazim disebut dengan pasangan minimal atau minimal pairs
   IV.            Distribusi Komplementer
Distribusi Komplementer adalah ciri-ciri fonetis yang mengarah pada berterima atau takberterimanya suatu gabungan bunyi oleh masyarakat penuturnya. apAbila dua bunyi telah dapat dibuktikan tempatnya seperti itu, kedua bunyi tersebut berada dalam distribusi komplementer
     V.            Premis Dasar Fonem
Premis dasar sangat diperlukan ketika melakukan analisis fonologis (fonemik) empat premis dasar yang paling banyak digunakan dalam menangani masalah fonemik yaitu sebagai berikut
1)      Sekali fonem tetap fonem ( one fonem once fonem )
2)      Bunyi cenderung berunah sesuai dengan lingkungannya
3)      Bunyi cendurung berfluktuasi
4)      Sistem bunyi cenderung mengarah pada pola simetri
Pola simetri sangat membantu peneliti untuk mendeteksi hal-hal yang belum sempat terjaring dalam pngumpulan data di lapangan
BAB II
Pembahasan
VOKAL dan KONSONAN BAHASA JAWA
I.                    FONEM VOKAL
Bunyi vokal dibedakan berdasarkan posisi lidah dalam mulut, bentuk bibir, dan tingkat pembukaan mulut
Lidah berada posisi rendah menghasilkan bunyi berupa vokal terbuka yaitu [a]                                                                           lidah berada pada posisi  tengah menghasilkan bunyi berupa vokal madya yaitu [e],[€],[o],[ə],[ɔ]                                                      lidah berada pada posisi atas menghasilkan bunyi berupa vokal tinggi yaitu [i].[u]                                                                       posisi lidah dinaikkan ke depan arah langit-langit keras menghasilkan bunyi berupa vokal depan tertutup  yaitu [i]
Bunyi vokal berdasarkan bentuk bibir                                                                                                                bentuk bibir membulat vokal yang dihasilkan berupa vokal bundar yaitu [ɔ],[u],[o]                                                                 bentuk bibir melebar vokal yang dihasilkan berupa vokal tak bundar yaitu [i],[a],[€]                                           bibir tidak bulat dan tidak melebar vokal yang dihasilkan berupa vokal netral yaitu [ɑ].


II.                  FONEM KONSONAN
Konsonan merupakan bunyi yang timbul akibat udara yang keluar dari paru-paru melalui rongga mulut atau rongga hidung.udara yang keluar dari rongga hidung akan menghasilkan bunyi sengau atau       
bunyi nasal seperti [m], [n], [ɲ], [ɳ]. Yang terpenting dalam konsonan adalah daer4ah artikulasi dan cara artikulasi. Daerah artikulasi meliputi  velar (langit-langit lunak), alveolar ( gusi ), billabial (bibir), dental (gigi) dan abiodental (bibir bawah dan gigi atas), sedangkan artikulasi meliputi hambat, frikatif, nasal, getar, lateral (samping/sisi lidah) dan semivokal
Berdasarkan daerah artikulasinya
A.      Bunyi Billabial
Bunyi billabial adalah bunyi bahasa yang dihasilkan oleh kedua bibir. Yang termasuk bunyi billanial adalah [b], [p], [m], dan [w]. Bunyi [b] merupakan bunyi hambat billabial bersuara, [p] merupakan bunyi hambat billabial tak bersuara. Bunyi billabial yang lain adalah [m], dan [w]. Bunyi [m] merupakan bunyi nasal billabial bersuara atau bunyi sengau billabial bersuara, sedangkan bunyi [w]  merupakan bunyi semivokal billabial bersuara
B.      Bunyi Dental /Alveolar
Dental/Alveolar adalah bunyi bahasa yang dihasilkan oleh daun lidah yang menempel gigi/gusi depan atas bagian dalam. Arus udara yang dikeluar dari paru-paru itu menggetarkan pita suara maka akan menghasilkan bunyi [d], sedangkan jika tidak menggetarkan pita suara akan menghasilkan bunyi [t]. oleh karena itu bunyi [d] disebut bunyi hambat dental bersuara dan bunyi [t] disebut bunyi hambat dental takbersuara. Selain bunyi [d] dan [t] yang termasuk bunyi dental adalah [s], [n], [r], [1].                                 Bunyi [s] merupakan bunyi frikatif dental tak bersuara dengan cara menempelkan ujung lidah pada gusi atas atau ujung lidah bersentuhan dengan gusi sambil melepaskan udara lewat samping lidah, bunyi [n] merupakan bunyi nasal dental bersuara. Bunyi [r] merupakan bunyi getar dental bersuara
C.      Bunyi Retrofleks
Bunyi Retrofleks adalah bunyi yang dihasilkan oleh pelepasan ujung lidah bagian bawah yang menyentuh langit-langit keras, bunyi yang dihasilkan adalah bunyi [ʠ] merupakan bunyi hambat retrofleks bersuara,sedangkan jika ujung lidah yang menempel langit-langit keras agak ke belakang dilepaskan bunyi yang dihasilkan adalah bunyi [ʈ] yang merupakan bunyi hambat retrofleks takbersuara. Dalam khazanah linguistik jawa kedua bunyi retrofleks sering dilambangkan dengan dh untuk bunyi [ʠ] dan th untuk bunyi [ʈ]. kedua bunyi tersebut hanya dapat menduduki posisi awal dan tengah
D.      Bunyi Palatal
Bunyi Palatal adalah bunyi yang dihasilkan oleh pelepasan daun lidah yang menempel pada langit=langit keras yang disertai hemnbusan udara dari paru-paru. Yang termasuk bunyi palatal adalah [j], [c], [z], [y], [ɲ], [ʃ]. Bunyi [j] merupakan bunyi hambat palatal bersuara. Bunyi [c] merupakan bunyi hambat palatal takbersuara. Bunyi [z] merupakan bunyi frikatif palatal bersuara. Bunyi [ʃ] merupakan bunyi prikatif palatal takbersuara. Bunyi [ɲ] merupakan bunyi nasal palatal bersuara. Bunyi [y] merupakan bunyi semivokal palatal bersuara
E.       Bunyi Velar
Bunyi Velar adalah bunyi yang dihasilkan oleh rongga tenggorokan. Yang termasuk bunyi ini adalah [g], [k], [x], dan [ɳ]. Bunyi [g] merupakan bunyi hambat velar bersuara. Bunyi [k] merupakan bunyi hambat velar takbersuara. Bunyi [x] merupakan bunyi frikatif velar takbersuara. Bunyi [ɳ] merupakan bunyi nasal velar bersuara
F.       Bunyi Glotal
Bunyi Glotal [?] merupakan bunyi hambat glotal takbersuara yang dihasilkan dengan cara menahan arus udara pada tenggorokan dengan bagian belakang lidah menyentuh anak tekak  sedangkan bunyi [h] merupakan bunyi frikatif glotal bersuara yang dihasilkan dengan cara melewatkan arus udara di antara pita suara yang menyempit sehingga menimbulkan bunyi desis. Bunyi [h] disebut bunyi laringal. Bunyi [?] hanya terdapat pada tengah dan akhir kata seperti : takwa [ta?wɔ]       bapak [bapa?]                                                                                                             ‘baju salat’                ‘bapak’

III.                DIFTONG MONOFTONG
Diftong merupakan deret dua fonem vokal yang berbedayang merupakan satu kesatuan yang tidak               dapat dipisahkan. Diftong selalu berada pada satu suku kata dan tidak bisa melampau batas suku kata. Bahasa jawa standar tidak memiliki diftong seperti bahasa Indonesia sebab vokal dalam bahasa jawa cenderung berupa vokal tunggal (monoftong). Kata danau, pulau dan satai dalam bahasa indonesia cenderung akan dilafalkan menjadi dano,pulo dan sate. Meskipun diftong tidak dikenal dalam bahasa jawa standar, pendiftongan (diftongisasi) bukan berarti tidak ada dalam bahasa jawa                                                enak [ena?]                  uenak [uʷena?]                                                                                                                                                 ‘enak’                                  ‘enak sekali’
IV.               Gugus Konsonan (Klaster)
Jika terdapat dua vokal yang berbeda berderet dan membentuk satu kesatuan vokal yang berderet itu disebut vokal rangkap atau diftong. Jika terdapat dua konsonan yang berbeda berderet disebut gugus konsonan atau klaster. Klaster dalam bahasa jawa tampak sebagai berikut                                                          [br]                  bribik, brayat, brutu                                                                                                                                        [pr]                  priya, prentah, prawan
BAB III
PERUBAHAN BUNYI
Perubahan bunyi dapat menyebabkan suatu fonem yang satu menjadi fonem yang lain perubahan itu disebut asimilasi bunyi. Asimilasi yang mengubah fonem yang satu menjadi fonem yang lain disebut asimilasi fonemis. Asimilasi dibedakan menjadi dua yaitu asimilasi progresif dan regresif. Asimilasi regresif tampak pada upama [upɔmɔ], sedangkan asimilasi progresif tampak pada kata jumlah menjadi

jumblah. Perubahan asimilasi bunyi dapat pula terjadi karena modifikasi vokal, netralisasi, pergeseran bunyi, pengurangan bunyi atau variasi bebas
a.       Modifikasi Vokal
Menurut Verhaar (1984) modifikasi vokal adalah perubahan vokal dalam sebuah suku kata menjadi lebih tinggi. Modifikasi dibedakan menjadi dua yaitu
1)      Umlaut
Umlaut yang terdapat pada bahasa jawa cenderung meninggikan vokal. Vokal depan /I/, /ʊ/ akan menjadi /i/ dan /u/ seperti contoh berikut : [arit]               + -e  [arite]                                                                                                                           ‘sabit’                            ‘sabitnya’
2)      Harmoni Vokal
Adalah perubahan vokal karena pengaruh vokal yang lain. Vokal belakang /ɔ/ dalam bahasa jawa akan menjadi vokal depan /a/ seperti contoh:                                                    [artɔ]                               + -e →  [artane]
‘uang’                                   ‘uangnya’
b.      Netralisasi Bunyi
Adalah pembatalan perbedaan minimal pada akhir kata seperti kata rebab nama gamelan , sabab ’sebab’. Bunyi velar bersuara /g/ yang terletak pada akhir kata seperti  kata gubug ‘gubuk’, ambleg ‘runtuh’ akan diucapkan menjadi [g], tetapi jika dilekati sufiks –e bunyi [g] pada akhir kata tersebut akan dinetralkan menjadi [k]
[rəbab]                 +  -e                [rəbape]
‘rebab’                                              ‘rebabnya’
[gubug]                                +  -e                [gubuke]
‘gubuk’                                               ‘gubuknya’
c.       Pergeseran Bunyi
Pergeseran Bunyi ada yang dikarenakan perpindahan tempat ada juga yang karena berderetnya dua fonem yang sama, Pergeseran Bunyi ini dibedakan menjadi 2 yaitu
a)      Metatesis
Metatesis adalah proses perpindahan bunyi karena bertukar tempat. Dalam metatesis yang diubah adalah urutan fonem  seperti contoh
Wira-wiri [wira wiri]  riwa-riwi [riwa riwi]
ke sana kemari’               ‘ke sana kemari’
b)      Disimilasi
Merupakan proses perubahan bunyi dari dua buah fonem yang sama menjadi fonem yang berbeda terjadi karena dua segmen bunyi yang sama terlalu berdekatan
Citta [citta]                                    cipta [cipta]
‘pikir’                                                     ‘pikir’


d.      Penambahan Bunyi
Penambahan Bunyi dibedakan menjadi 3 yaitu
a)      Protesis
Protesis merupakan penambahan fonem pada awal kata yang biasanya terjadi karena kesulitan dalam pengucapan
Bah putri ‘ nenek’               mbah putri ‘nenek’
Jare ‘katanya’                       ujare ‘katanya’
Hampir semua proses pranasal dalam bahasa jawa dapat dikelompokkan ke dalam protesis
b)      Epentesis
Epentesis merupakan penambahan fonem pada tengah kata. Mulanya epentesis hanya digunakan untuk penambahan vokal pada tengah kata, tetapi dalam perkembangan berikutnya juga meliputi penambahan konsonan pada tengah kata. Seperti berikut
Kambil ‘kelapa’                    krambil ‘kelapa’
Akasa ‘angkasa’                  angkasa ‘angkasa’
c)       Paragog
Merupakan penambahan fonem pada akhir kata, seperti contoh sebagai berikut
Nganti ‘sampai                    ngantik ‘sampai’
Sudi      ‘sudi’                         sudik      ‘sudik’
e.      Pengurangan Bunyi
Pengurangan Bunyi atau yang disebut  abreviasi di dalam kata yang dapat dibedakan menjadi tiga yaitu
*      Aferesis
Merupakan pengurangan bunyi pada awal kata seperti contoh
Bapak ‘bapak’              pak ‘orang’
Bisa ‘bisa’                       isa ‘bisa’
*      Sinkop
Sinkop merupakan pengurangan bunyi pada tengah kata contoh
Ngimpi ‘mimpi’            ngipi ‘mimpi’
Singsot ‘siul’                  sisot ‘siul’
*      Apakop
Apakop merupakan pengurangan bunyi pada akhir kata contoh
bakyu ‘kakak’               bak ‘kakak’
dhimas ‘adik’                dhi ‘adik’
f.        Variasi Bebas
Merupakan variasi bunyi  yang tidak menyebabkan perubahan makna. Variasi bebas sering terjadi pada bunyi-bunyi yang homorgan antara fonem /b/ dan /w/, /d/ dan /t/, serta /g/ dan /k/
Bae                   wae ‘saja’
Bengi                wengi ‘bengi’


BAB IV
EJAAN BAHASA JAWA
Ejaan bahasa jawa dibedakan menjadi dua yaitu ejaan bahasa jawa yang menggunakan aksara latin dan ejaan bahasa jawa menggunakan aksara jawa. Untuk penulisan nama geografis yang mengandung bunyi dental/ alveolar dan retrofleks, ejaan bahasa jawa yang disempurnakan menganjurkan penulisannya agar mengikuti kaidah ejaan bahasa indonesia padahal fonem itulah yang menjadi ciri khas bahasa jawa
        i.            Penulisan Vokal Bahasa Jawa
v  Penulisan Bunyi [I]
Jika pada suatu kata terdapat bunyi [I] dan kata tersebut mendapat imbuhan –e(-ne) maka bunyi [I] pada kata tersebut berubah menjadi bunyi [i]. bunyi [I] pada kata tersebut harus ditulis dengan aksara i. seperti contoh
Cacing [caciɳ]     +             -e                       cacinge [caciɳe]
‘cacing’                                                                 ‘cacingnya’  
Maling [maliɳ]   +             -e                       malinge [maliɳe]
‘pencuri’                                                                              ‘pencurinya’
v  Penulisan Bunyi [ɔ]
Dalam bahasa jawa bunyi [ɔ] atau a jejeg seharusnya ditulis dengan menggunakan huruf a bukan huruf o sebab bunyi aksara jawa itu adalah ha,na,ca,ra,ka dst. Jika ditulis ho,no,co,ro,ko dst harus ditulis dengan menggunakan pasangan taling dan tarung yang mengapit bunyi-bunyi tersebut sebagai penanda bunyi o. jika bunyi [ɔ] pada suatu kata mendapatkan imbuhan –e(-ne) serta bunyi [ɔ]pada kata tersebut berubah menjadi hunyi [a] atau menjadi bunyi a miring maka bunyi [ɔ] pada kata tersebut harus ditulis menggunakan aksara a
arta [artɔ]            +             -e                       artane [artanee]
‘uang’                                                                   ‘uangnya’   
bala [bɔlɔ]            +             -e                       balane [balane]
‘teman’                                                                                ‘temannya’
v  Penulisan Bunyi [ʊ]
Jika suatu kata terdapat bunyi [ʊ] dan bunyi ini mirip dengan bunyi [o] yang terletak di akhir suku kata dan mendapatkan imbuhan –e(-ne) maka bunyi [ʊ] akan berubah menjadi [u] dan harus ditulis menggunakan aksara u. seperti contoh
jagung [jagʊɳ]   +             -e                       jagunge [jagunge]
‘jagung’                                                                                ‘jagungnya’  

0 komentar:

Posting Komentar