Makalah Stilistika
Penganalisisan Pada Puisi
Penyusun
Sarah Khisniyah
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2013
KATA PENGANTAR
Puji
syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat serta karuniaNya
kepada saya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah Pengkajian Puisi yang
membahas tentang “Penganalisisan Puisi dalam Strata Norma dan Ketidaklangsungan
Ekspresi” dengan tepat waktu. Di dalam makalah ini berisikan tentang apa itu
puisi, analisis strata norma, ketidaklangsungan ekspresi, dan puisi sebagai
karya seni. Sehingga saya bisa mengetahui tentang puisi secara mendalam dan
dapat menganalisis puisi dengan tepat.
Saya sadar
banyak kesalahan pada makalah ini, saya mengharapkan kritik dan saran dari para
pembaca. Semoga makalah ini dapat berguna bagi kita semua
Saya memohon
ma’af apabila dalam penulisan makalah ini banyak kesalahan. Akhir kata saya
ucapkan terima kasih.
Semarang, 24 Oktober 2013
Penyusun
BAB I
Pendahuluan
Puisi sebagai salah satu jenis
sastra merupakan pernyataan sastra yang paling inti. Dari dahulu sampai
sekarang puisi merupakan pernyataan seni sastra yang paling baku. Karena
kemajuan masyarakat dari waktu ke waktu selalu meningkat maka corak, sifat, dan
bentuk puisi selalu berubah mengikuti perkembangan selera dan kemajuan
intelektual yang selalu meningkat. Oleh sebab itu di waktu sekarang wujud puisi
semakin kompleks dan semakin sukar untuk dipahami.
Puisi mempunyai sifat, struktur,
dan konvensi-konvensi yang khusus. Oleh karena itu untuk memahaminya prlu
dimengerti dan dipelajari konvensi-konvensi dan struktur puisi tersebut.
Pengkajian puisi ditujukan untuk semua kalangan, baik para pelajar SLTA,
mahasiswa, guru, dosen sastra maupun masyarakat pada umumnya.
Pengkajian puisi terbagi menjadi
2 bagian yaitu


Dengan adanaya puisi pengkajian
Bagian 1 dan Bagian II diharapakan dapat dipahami dan dipelajari secara
analisis dan keutuhannya, dengan demikian diharapkan akan didapatkan pemahaman
puisi yang sedalam-dalamnya.
Tujuan pembuatan makalah yaitu
a.
Mengetahui tentang puisi
b.
Dapat mengetahui puisi dapat dikaji dari bermacam-macam
aspeknya
c.
Dapat menganalisis sebuah puisi berdasarkan strata norma
d.
Mengetahui jika puisi sebagai karya seni
Dalam pemahaman tentang penganalisisan puisi yang dibahas
dalam makalah ini menggunakan refrensi dari buku pengkajian puisi dari Rahmat
Djoko Pradopo.
PEMBAHASAN
2.1Pengertian
Puisi adalah struktur yang
tersusun dari bermacam-macam unsur dan sarana-sarana kepuitisannya. Puisi dapat
dikaji dari sudut kesejarahannya, bahwa sepanjang sejarah dari waktu ke waktu selain
ditulis puisi juga dibaca orang. Hal ini mengingat hakikatnya puisi sebagai
karya seni yang selalu terjadi ketegangan antara konvensi dan pembaharuan
(inovasi) (Teuw, 1980L:12).
Menurut Altenbernd (1970:2),
puisi merupakan pendramaan, pengalaman yang bersifat penafsiran (menafsirkan) dalam
bahasa berirama.
Samuel Taylor
Coliredge mengemukakan puisi itu adalah kata-kata terindah dalam susunan
terindah. Penyair memilih kata-kata yang
setepatnya dan disusun secara sebaiknya-baiknya. Jadi puisi merupakan
mengekspresikan pikiran yang membangkitkan perasaan, yang merangsang imajinasi
panca indera dalam susunan yang berirama. Semua itu merupakan sesuatu yang
penting ynag diekspresikan, dinyatakan dengan menarik dan memberi kesan.
Dalam ilmu sastra (poetika)
sesungguhnya hanya ada stau istilah yaitu puisi, istilah itu mencakup semua
karya sastra, baik prosa maupun puisi. Hal ini disebabkan bahwa sesungguhnya
perbedaan prosa dan puisi itu sifatnya hanya berderajat saja kepadatannya.
Padat karya disebut puisi, sedangkan yang tidak padat disebut prosa. Puisi
merupakan hasil aktivitas memadatkan.

Puisi sebagai karya seni itu
bersigat puitis. Kata puitis disini dimaksudkan adalah bahwa puisi sudah
mengandung nilai keindahan yang khusus untuk puisi. Unutuk mengetahui
kepuitisan puisi terlebih dahulu diketahui unsur-unsur pembentuk puisi, supaya
pengatahuan tentangnya dapat lebih mendalam.
2.11Analisis Puisi Berdasarkan Strata Norma
Puisi (sajak) merupakan sebuah
struktur yang kompleks, maka untuk memahaminya perlu dianalisis sehingga dapat
diketahui bagian-bagian serta jalinannya secara nyata. Dikemukakan oleh Wellek
(1968:150) puisi adalah sebab yang memungkinkan timbulnya pengalaman setiap
individu.
Seorang filsuf Polandia di dalam
bukunya Das Literarische Kunstwerk (1931) ia menganalisis puisi berdasarkan norma-norma
itu adalah sebagai berikut.
1. Lapis Bunyi (sound stratum)
Ketika seseorang membaca puisi,
maka yang terdengar adalah rangkaian bunyi yang dibatasi oleh jeda panjang,
agak panjang, dan panjang. Suara sesuai konvensi bahasa disusun sedemikian rupa
hingga menimbulkan sebuah makna. Lapis bunyi dalkam sajak itu ialah semua
satuan bunyi yang berdasarkan konvensi bahasa tertentu. Dalam puisi pembicaraan
lapis bunyi haruslah ditujukan pada bunyi-bunyi atau pola bunyi yang istimewa
yaitu dmaksudkan agar mendapatkan efek puitis.
Lapis bunyi menjadi dasar
timbulnya lapis yang kedua yaitu Lapis Arti.
2. Lapis Arti (units of meaning)
Lapis arti disini berupa
rangkaian fonem, suku kata, kata, frase, dan kalimat. Rangkaian kalimat menjadi
alinea, bab, dan bab keseluruhan cerita ataupun keseluruhan sajak.
3. Lapis ketiga
Lapis ketiga ini berupa
objek-objek yang dikemukakan, latar, pelaku dan dunia oengarang. Dunia
pengarang adalah ceritanya yang merupakan dunia yang diciptakan oleh si
pengarang. Ini merupakan gabungan dan jalinan antara objek-objek yang
dikemukakan, latar, pelaku, serta laurnya.
4. Lapis keempat
Roman Ingarden menambahkan dua
lapis norma lagi yang menurut Wellek dapat dimasukkan dalam lapis yang ketiga yaitu
A.
Lapis ‘’dunia’’ yang dipandang dari titik pandang tertentu
yang tak perlu dinyatakan, tetapi terkandung dalmnya (implied). Sebuah
peristiwa dalam sastra dapat dikemukakan atau dinyatakan, bahkan pada peristiwa
yang sama. Misalnya pintu berbuny halus dapat memberi sugesti wanita atau watak
wanita dalam si pembuka pintu itu hati-hati.
B.
Lapis metafisis (Lapis Kelima)
Lapis ini berupa sifat-sifat
metasis (yang tragis, yang mengerikan, dan yang suci). Dengan sifat-sifat ini
seni dapat memberikan renungan kepada pembaca, akan tetapi tidak setiap karya
sastra dalamnya terdapat lapis metafisis.
Analisis
strata norma dimaksudkan untuk mengetahui semua unsur karya sastra yang ada.
Dengan demikian akan dapat diketahui unsur-unsur pembentuknya dengan jelas.
analisis strata norma harus ditingkatkan ke analisis semiotik (karya sastra
sebagai sistem tanda). Tiap-tiap unsur karya sastra itu mempunyai makna.
Sehingga akan didapatkan makna sepenuhnya.
2.12Ketidaklangsungan Ekspresi Puisi
Analisis struktural yang digabungkan dengan semiotik disebut strukturalisme dinamik (Teuw, 1983:62).
Hal ini untuk mengatasi keterbatasan strukturalisme murni yang perspektif
tinjauannya yang sepenuhnya tidak dapat menangkap relevansi eksistensial dan
makna historis.
Puisi merupakan sistem tanda tingkat kedua yang mempergunakan
medium bahasa. Sastra merupakan sistem tanda yang mempergunakan bahasa yang
sudah merupakan sistem tanda sebelum dipergunakan dalam sastra. Oleh karena itu
bahasa merupakan sistem tanda tingkat pertama yang suda mempunyai arti dan
mempunyai konvensi sendiri karena bahasa merupakan lembaga masyarakat. Jadi
dalam sastra ada konvensi bahasa yang nerupakan konvensi diluar sastra dan
konvensi sastra sendiri yang disebut konvensi tambahan. Konvensi tambahan ini
diantaranya adalah konvensi bahasa kiasan, persajakan, pembagian bait,
enjabement (perloncatan baris), dan tipografi (susunan tulisan)
Ketidaklangsungan pernyataan puisi menerut Rifaterre (1978:2)
disebabkan oleh tiga hal yaitu
1. Penggantian arti (displacing)
Penggantian
arti ini merupakan ketidaklangsungan ekspresi yang disebabkan oleh
Metafora
dan metonimi atau sering menggunakan bahasa kiasan. Hal ini disebabkan metafora
dan metonimi yang merupakan bahasa kiasan yang sangat penting, sehingga dapat
menggantikan bahasa kiasan yang lainnya. Metafora merupakan bahasa kiasan yang
tidak mengganti suatu hal dengan menggunakan kata pembanding. Metonimi merupakan
bahasa kiasan yang digunakan dengan memakai nama atau ciri orang atau sesuatu
hal yang bertantauan dengannya.
Secara
umum dalam pembicaraan puisi bahasa kiasan seperti perbandingan, personifikasi,
dan metomini itu biasa disebut dengan metafora meskipun sesungguhnya metafora
berbeda dengan kiasan yang lain, mempunyai sifat sendiri. Metafora itu melihat
sesuatu dengan perantaraan hal atau benda lain.
2.
Penyimpangasn
Arti
Menurut
Rifaterre penyimpangan arti terjadi apabila dalam sajak ada ambiguitas,
kontradiksi, ataupun nonsense.
a. Ambiguitas
Dalam
puisi sebuah kata-kata, frase, dan kalimat mempunyai arti ganda yang
menimbulkan banyak tafsir atau ambigu. Dengan ambiguitas puisi memberikan
kesempatan kepada pembaca untuk memberikan arti sesuai dengan asosiasinya.
Dengan demikian setiap kali sajak dibaca selalu memberikan arti baru. Julia Kristeva mengemukakan bahwa
dalam puisi arti tidak terletak ‘’dibalik’’ penanda (tanda bahasa), seperti
sesuatu yang ‘’dipikirkan’’ oleh pengarang, melainkan tanda (kata-kata itu)
menjanjikan sebuah arti yang harus diusahakan diproduksi oleh pembaca.
b.
Kontradiksi
Dalam
sajak modern banyak mengandung ironi yaitu salah satu cara menyampaikan maksud
secara berlawanan atau berbalikan. Ironi ini biasanya untuk mengejek sesuatu
yang keterlaluan. Ironi ini menarik perhatian dengan cara membuat pembaca
berpikir.
Kontradiksi
disini juga mengandung pertentangan yang disebabkan oleh paradoks. Paradoks
disini dimaksudkan adalah berupa pernyataan yang berlawanan dengan dirinya
sendiri atau pendapat umum, tapi kalau diperhatikan secara sungguh-sungguh
mengandung suatu kebenaran.
c.
Nonsense
Nonsense
merupakan bentuk kata-kata yang secara linguistik tidak mempunyai arti sebab
tidak terdapat dalam kosakata. Nonsense ini menimbulkan asosiasi-asosiasi
tertentu, menimbulkan arti dua segi, menimbulkan suasana aneh, suasana ghaib
ataupun suasana lucu.
3.
Pencptaan
Arti
Penciptaan
arti terjadi (Rifaterre 1978:2) apabila ruang teks berlaku sebagai pengorganisasian
untuk membuat tanda-tanda keluar dari hal-hal ketatabahasaan yang sesungguhnya
secara linguistik tidak ada artinya. Misalnya simitri, rima, enjabement atau ekuivalensi-ekuivalensi makna
diantara persamaan-persamaan posisi dalam bait (homologues). Penciptaan arti
merupakan kepuitisan yang berupa bentuk visual yang dalam linguistik tidak
memiliki arti, tetapi menimbulkan makna dalam sajak. Jadi penciptaan arti ini
merupakan keorganisasian yang berada di luar linguistik yaitu adalah perbaitan,
persajakan, enjabemen, tipografi dan homologues.
Pembaitan adalah pengaturan bait-bait
Persajakan atau rima merupakan pengaturan
bunyi pada tiap baris
Enjabemen pemenggalan kata-kata pada baris
yang berbeda
Tipografi penyusunan baris-baris dalam
keseluruhan sajak
Homologues bentuk kata yang sama pada baris
yang sejajar.
BAB III
HASIL
ANALISIS PUISI
3.1
Analisis
Puisi berdasarkan Strata Norma
Puisi 1
Ing Kutha Gedhe
Dening : Yono Hs
Kabeh paraga dha nduweni lara bisu
Jalaran angger pethuk mung kaya semut
Onthak-anthuk thok
Ditakoni malah tudang-tuding
Kaya wong pancingen,
apa ngene iki sing jenenge egois ki.
Semarang, 12 April 1994
(Pustaka Candra. Edisi 193 1996/1997)
Analisis Puisi 1
1.
Lapis Bunyi
Pada bait pertama baris pertama terdapat
asonansi a. pada baris kedua adanya
asonansi a baris ketiga terdapat aliterasi k.
Pada baris keempat terdapat
asonansi i. baris kelima DAN KEENAM adanya alitersi ng.
2.
Lapis arti
Kabeh paraga dha
nduweni lara bisu
Apa semua manusia
mempunyai penyakit bisu
Jalaran angger
pethuk mung kaya semut
Sebab setiap
bertemu seperti se ekor semut
Onthak-anthuk
thok
Sibuk dengan
dirinya sendiri
Ditakoni malah
tudang-tuding
Ditanya malah
melemparkan kepada yang lain
Kaya wong
pancingen,
Seperti orang pancingen,
apa ngene iki sing jenenge egois ki.
apa seperti ini yang dinamakan dengan egois
3.
Lapis Ketiga
Ø Objek-objek yang dikemukakan
Paraga, semut, dan wong
Ø Pelaku atau tokoh
Semua manusia yang hidup di kota
besar
Ø Latar waktu
-
Ø Latar tempat
-
Ø Dunia pengarang itu adalah
ceritanya yaitu setiap manusia yang tinggal di sebuah kota besar itu mempunyai
sifat individual tidak memperdulikan orang yang disekitarnya dan ketika ditanya
malah melimpahkan kepada orang lain. Apa itu yang dinamakan keegoisan.
4.
Lapis Keempat
Dipandang dari sudut pandang
tertentu tokoh semua manusia atau semua paraga dalam puisi tersebut adalah
orang yang mempunyai sifat individual atau keegoisan . Hal itu jelas tergambar
dari bait pertama yaitu
Kabeh paraga dha nduweni lara bisu
Jalaran angger pethuk mung kaya
semut
Onthak-anthuk thok
Ditakoni malah tudang-tuding
Kaya wong pancingen,
apa ngene iki sing jenenge egois
ki.
5.
Lapis Kelima
Dalam
puisi tersebut lapis ini berupa keegoisan hidup manusia yang tinggal di kota
besar yaitu ketika berjalan itu seperti orang bisu yang tidak pernah menyapa
satu sama lain dan ketika ditanya tidak pernah jelas jawabannya malah
melimpahkan atau nunjuk kepada orang lain.
Puisi 2
Tresnaku
Ing jero atiku…
Aku ngrasa sepi
Saiki tresnaku lunga
Kangge nggoleti angen-angen
Aku kepingin tresnaku
Cepet bali kanggo nglepasake
Kabeh kasepen
Aku nyadari tresnamu tresna
asih marang aku
Aku nyadari aku ora bisa
Urip tanpa tresnaku
Aku ingin kene
Wis mulih
Ana ing tresna
Kang abadi
Analisis puisi II
1.
Lapis Bunyi
Puisi tersebut pada bait pertama
baris 1, 2, dan 3 terdapat asonansi a dan u
Pada baris keempat adanya
aliterasi ng. pada bait kedua baris 1, 2, dan 3 terdapat asonansi a dan e,
sedangkan pada baris keempat terdapat aliterasi r dan asonansi a. pada bait
ketiga baris 1 dan 2 terdapat asonansi a dan u. baris ketiga dan keempat
terdapat asonansi i. baris 5 dan 6 tersapat asonansi a.
2.
Lapis arti
Ing jero atiku…
Di dalam hatiku
Aku ngrasa sepi
Aku merasa sepi
Saiki tresnaku lunga
Sekarang cintaku atau kekasihku
hilang
Kangge nggoleti angen-angen
Untuk mencari sebuah harapan
Aku kepingin tresnaku
Aku ingin cintaku
Cepet bali kanggo nglepasake
Cepat kembali untuk melepaskan
Kabeh kasepen
Semua rasa kesepian ini
Aku nyadari tresnamu tresna
asih marang aku
Aku menyadari
cintamu hanyalah cinta karena kasihan kepadaku
Aku nyadari aku ora bisa
Aku menyadari aku ora bisa
Urip tanpa tresnaku
Hidup tanpa cintaku
Aku ingin kene
Aku ingin disini
Wis mulih
Pulang
Ana ing tresna
Ada pada cinta
Kang abadi
Yang abadi
3.
Lapis ketiga
Ø Objek-objek yang dikemukakan
-
Ø Pelaku atau tokoh
Si aku
Ø Latar waktu
-
Ø Latar tempat
-
Ø Dunia pengarang
Si aku hatinya merasa sepi
karena cintanya hilang dan si aku ini ingin cintanya cepat kembali untuk
melepaskan semua arsa kesepian yang dialaminya. Namun disatu sisi si aku ini
menyadari bahwa cinta yang didapatkan hanyalah cinta karena merasa kasihan dan
si aku ingin mendapatkan cinta yang sejati.
4.
Lapis keempat
Dari sudut pandang tertentu
tokoh si aku itu kesepian dan hatinya resah serta kecewa, hal ini tergambar
dalam bait pertama yang emnggambrkan kesepian yaitu
Ing jero atiku
Aku ngrasa sepi
Saiki tresnaku lunga
Kangge nggoleti angen-angen
Sedangkan dalam bait kedua
menggambarkan kalau hatinya resah dan merasakan sakit hati yaitu
Aku kepingin tresnaku
Cepet bali kanggo nglepasake
Kabeh kasepen
Aku nyadari tresnamu tresna
asih marang aku
5.
Lapis kelima
Dalam puisi ini berupa
ketragisan dan kesepian yang mendalam yaitu merasakan kesepian karena cintanya
hilang, berharap cintanya kembali, dan tragisnya adalah mendapatkan cinta
karena hanya dari rasa kasihan semata. Karena itu di akhir puisi digambarkan
kalau tokoh si aku ingin mendapatkan cinta yang abadi.
3.2 Analisis berdasarkan Ketidaklangsungan Ekspresi
1. Penggantian
Arti
Analisi Puisi I
Pada puisi pertama terdapat kata
‘’kabeh paraga dha duweni lara bisu’’. Hal ini menggambarkan seseorang yang
tinggal di kota besar memiliki sifat individualisme atau keegoisan. Terus
terdapat kata ‘’jalaran angger pethuk mung kaya semut’’ berarti keegoisan itu
disebabkan karena setiap ketemu seperti seekor semut yang hanya jalan
sendiri-sendiri.
Untuk
menimbulkan suasana yang khusus yang menarik perhatian penyair juga memberikan
gambaran pikiran (citraan(
Citra penglihatan misalnya ‘’jalaran angger
pethuk mung kaya semut’’ ‘’nasak wana salumahing huwana’’
Analisis puisi II Pada puisi yang kedua ini pada
bait pertama baris keempat yang berbunyi “Kangge nggoleti angen-angen” yang memiliki penafsiran arti yang
beragam. Disini saya menafsirkan kalau tokoh si aku ini cintanya baru saja
hilang ,hatinya sepi dan untuk mencari sebuah harapan yang baru. Disini
pengarang menggunakan kata angen-angen tidak menggunakan kata pengarepan karena
untuk memberikan kesan puitis dalam puisi tersebut.
2. Penyimpangan Arti
a.
Ambiguitas
Puisi yang pertama ini berbentuk
penuturan penyampaian pesan. Pada baris kedua terdapat syair “Jalaran angger
pethuk mung kaya semut” dalam syair tersebut pembaca dapat berbagai macam
penafsiran. Disini saya menafsirkan kalau seseorang yang tinggal di kota besar
itu sibuk dengan dirinya sendiri, setiap ketemu itu Cuma berjalan tanpa
bertegur sapa.
Analisis
Puisi II
Puisi
yang kedua ini puisinya sudah jelas tidak terdapat keambiguan.
b.
Kontradiksi
Koptradiksi
ini disebabkan oleh paradoks dan ironi
Paradoks
memiliki arti bertentangan seperti bait pertama
Kabeh paraga dha nduweni lara bisu
Jalaran angger pethuk mung kaya
semut
Onthak-anthuk thok
Ditakoni malah tudang-tuding
Kaya wong pancingen,
apa ngene iki sing jenenge egois
ki.
Dalam puisi tersebut menggambarkan
keegoisan seseorang. Hal ini sangat bertentangan dengan hakikat manusia yaitu
manusia sebagai makhluk sosial yang tidak bisa hidup tanpa orang lain, tetapi
kenapa di kota besar kebanyakan orang bersifat individualisme.
Analisis Puisi II
Pada puisi yang kedua ini
menggambarkan seseorang yang hatinya sedang sepi karena cintanya hilang dan
menginginkan sebuah cinta yang sejati. Namun juga terdapat pertentangan, hal
ini tergambar dalam bait kedua
Aku kepingin tresnaku
Cepet bali kanggo nglepasake
Kabeh kasepen
Aku nyadari tresnamu tresna asih marang aku
Dalam
bait tersebut digambarkan jika tokoh si aku ini ingin cintanya kembali namun
sulit karena dia menyadari kalau cinta yang didapatkan itu adalah cinta yang
hanya karena kasihan.
c.
Nonsense
Dalam puisi yang
pertama ini tidak terdapat nonsense.
Dalam
puisi yang kedua juga tidak terdapat nonsense
3. Pencptaan Arti
Analisis Puisi I dan Puisi II
Dalam puisi pertama dan kedua jika dianalisis secara penciptaan arti
tidak memiliki tipografi karena penulisan puisi tersebut biasa seperti puisi
yang lain yang jika dilihat tidak berbentuk atau tidak menggambarkan suatu
benda.
0 komentar:
Posting Komentar