cerpen ku
Di malam yang indah yang penuh
bintang-bintang saat itu adalah malam yang paling berharga bagi Ratna dan Rama,
karena saat itu mereka sedang berdua’an . Tanpa ada satu pun masalah ataupun
sedikit kejanggalan dalam hati mereka, mereka asik bercanda,bergurau berdua
sampai menghiraukan yang lain Waktupun
kian larut malam Rama pun pulang dengan senyuman yang indah.
Hari telah berganti Rama dan Ratna
pun melakukan aktifitas mereka masing-masing, Rama yang sibuk bekerja di sebuah
pabrik di jakarta dan Ratna yang sibuk dengan handphone nya menunggu pesan dari
sang kekasih tercinta, bukan Cuma itu dia pun sibuk menunggu panggilan kerja
dari sebuah perusahaan di bandung. Selang beberapa jam kemudian ketika Ratna
sedang sibuk dengan handphone nya ada pesan masuk dia mengira pesan dari Rama
tapi ternyata panggilan kerja dari perusaha’an yang telah dia idam-idamkan
selama ini untuk bekerja disana
Hari kian senja Rama telah pulang
bekerja sa’at itu juga Rama terkejut dengan keberada’an Ratna yang sudah menunggunya
pulang. Rama bertanya kepada Ratna “sayang kamu kenapa bisa ada disini ?, tanpa
menelfon ku dulu” Ratna pun menjawab”sayang aku ingin memberikan surprise buwat
kamu, karena aku diterima kerja di perusaha’an yang selama ini aku impikan.”
Rama merasa bangga dan senang tapi dalam hatinya merasa sedikit sedih karena
akan berpisah dengan puja’an hatinya.
Keberangkatan Ratna untuk bekerja
di perusaha’an besar di Bandung tinggal menghitung hari Rama merasa sedih harus
berhubungan jauh dengan puja’an hatinya tapi dia merelakan demi impian Ratna
selama ini.2 hari kemudian Ratna bergegas untuk berangkat ke bandung dengan
bercucuran air mata mengantar kepergian Ratna, “Pergilah kasih kejarlah
keinginanmu selagi masih ada waktu jangan hiraukan diri ku,aku rela berpisah
untukmu semoga tercapai sgala keinginanmu” kata-kata itulah yang diucapkan Rama
untuk keberangkatan Ratna,dia ytak dapat membendung air matanya.
Beberapa hari kemudian ketika Ratna
sudah memulai pekerja’anya sebagai sekertaris dan juga menjalani hubungan jarak
jauhnya dengan Rama tak ada masalah apapun semua berjalan dengan baik. Namun
ketika Ratna pulang ke jakarta bertemu puja’an hatinya dia sedang berdu’an
dengan cewek lain yang tidak diketahui oleh Ratna siapa cewek itu sebenarnya.
Hati Ratna pun seperti teriris kesakitan yang teramat dalam
power of
POWER OF LOVE
Di sebuah taman
dekat sekolah disanalah Rachel dan Radit sering meluangkan waktunya untuk
berduaan. Mereka ini adalah pasangan kekasih yang selalu bersama selalu
terlihat mesra walaupun kenyataannya mereka memiliki masalah yang sangat begitu
besar bagi hubungan mereka, namun mereka tak memeperlihatkan hal itu bahkan teman-teman Rachel pun tidak pernah
mengetahui jika mereka memiliki masalah karena mereka tidak ingin orang lain
tahu dengan masalah yang dialami mereka dan juga karena memiliki cinta yang tulus cinta yang berasal
dari hati bukan dari harta, tahta ataupun rupa. Rachel sangat mencintai Radit
begitu juga Radit, namun Rachel merasa dirinya tak pantas buwat Radit karena
ketidaksempurnaan Rachel hal itu yang menyebabkan Rachel bersedih, dia mengidap
penyakit kanker lambung. Walaupun Radit mengetahui bahwa sang kekasih sakit dia
tetap tidak merubah rasa sayang dan cintanya kepada Rachel bahkan dia
mengorbankan semuanya agar bisa selalu ada untuk sang pujaan hati dia bisa
dibilang mirip kayak hansip yang selalu menjaga 24 jam demi keamanan. Cinta itu
memang tak selamanya berjalan dengan mudah banyak lika-liku dalam menjalani
hubungan. Seperti yang pernah dibilang oleh salah satu dosen sepupuku yang
berada di semarang yang mengatakan bahwa
“Hidup Itu Harus Mengalami Kesusahan Jika
Tidak Ingin Merasa Susah atau Gagal Lebih Baik Mat”i, begitu juga dengan
hubungan yang dijalani oleh sepasang kekasih ini yang tidak hanya mendapatkan masalah
dari sakit yang diderita Rachel namun mereka juga mengalami masalah yaitu tidak
adanya restu dari orang tua Rachel karena adanya perbedaan keyakinan.
Waktu terus
berlalu mereka pun sering jalan berdua melepaskan penat dan beban yang mereka
pikul namun itu semua tidak begitu mereka pikirkan karena dengan kekuatan cinta
yang tulus yang mereka miliki akan mengalahkan semuwa masalah dan dapat mereka
lalui bersama. Suatu ketika Radit datang ke rumah Rachel berniat untuk
menjenguk Rachel yang sedang sakit dan bersilaturrahmi dengan orangtuanya,pada
saat itu pula Radit memberanikan diri
bilang kepada orang tua Rachel untuk meresmikan hubungan mereka ke jenjang
pernikahan wajar karena mereka telah menjalin hubungan selama 5tahun sejak
mereka di perguruan tinggi yang sama. Namun ayah Rachel tidak menerimanya
karena Radit mempunyai keyakinan yang berbeda dengan keluarga Rachel memberikan syarat jika memang Radit
benar-benar sayang dan cinta kepada Rachel tulus apa adanya dan benar-benar
ingin menjadikan Rachel calon istri dia harus pindah keyakinan yang sama dengan
keluarga Rachel. Hal ini membuat Radit tak kuasa untuk melaluinya namun sang
kekasih yang selalu disisihnya memberikan semangat dan mengingatkan dengan
sebuah kata yang selalu mereka ucapkan jika kita benar-benar memiliki cinta
yang tulus dari hati semua masalah akan bisa dilalui dengan cinta kita yang
begitu kuat yang tak akan ada stu orangpun yang dapat memisahkan kita kecuali
maut yang akan memisahkan kita. Mendengar kata-kata itu hati Radit terennyuh
dan bangkit dari permasalahan tersebut.
Setelah
mendapatkan persyaratan tersebut Radit berusaha membicarakan kepada orang tuanya,
namun orang tuanya menentang dia untuk melakukan persyaratan yang dianggap
konyol dengan orang tua Radit. Masalah semakin rumit Radit kehilangan semangat
dan tak tahu lagi harus berbuat apa. Hari demi hari tlah mereka lalui dengan
sejuta masalah cinta yang mereka hadapi. Pada sore hari Radit mengajak Rachel
pergi ke taman biasa di sana mereka menghabiskan waktu dengan
melakukan hal yang menyenangkan,
saat mereka asyik bermain tiba-tiba Rachel kambuh dan jatuh pingsan Radit panik
dan kemudian membawanya ke rumah sakit. Keluarga Rachel sangat cemas melihat
keadaan putrinya yang berbaring lemah diatas tempat tidur Radit selalu setia
menunggu dan selalu mendampingi sang kekasih di rumah sakit sampai Rachel sadar
dari komanya.
Selama Rachel
koma Radit terus memikirkan syarat yang diberikan dari orang tua Rachel dia
memberanikan diri untuk bilang dan memohon kepada kedua orang tuanya agar
pindah keyakinan seperti apa yang dipersyaratkan orang tua Rachel, namun orang
tuanya tetap tidak mengizinkan kepada Radit untuk pindah keyakinan hatinya
sangat terpukul lalu dia mengajak orang tuanya untuk menjenguk Rachel yang
sedang berbaring lemah di rumah sakit ketika orang tuanya melihat keadaan
Rachel hati mereka sangat teriris karena mereka tahu Rachel adalah seorang
gadis yang baik yang sangat menyanyangi putranya pada saat itu orang tua Radit
berubah pikiran untuk mengizinkan Radit pindah keyakinan.
Di sinilah Cinta
mulai menerjemahkan prosa kehidupan ke dalam himne dan lagu pujian, dengan
musik yang digubah oleh malam dan dinyanyikan oleh pagi Di sinilah Cinta
menyingkapkan cadar dan menerangi lekuk-lekuk hati, menciptakan puncak
kebahagiaan kala sukma menyembah Tuhan.
Ketika telah
mendapatkan restu akhirnya Radit memeluk agama islam itu berkat perjuangannya
dan kekuatan cinta yang mereka miliki. Pada saat Radit telah memeluk islam
Rachel terbangun dari komanya dan langsung seketika dia memberikan kabar
bahagia itu kepada Rachel dan Rachel pun sangat senang sekali. Radit langsung
mempersiapkan segala kebutuhan untuk pernikahannya
Tiba waktu
pernikahan mereka namun Rachel masih belum diperbolehkan pulang akhirnya mereka
melangsungkan pernikahan di rumah sakit sebelum Radit mengucapkan janji suci
untuk Rachel. Rachel mengucapkan sesuatu
“kamu telah berhasil mengalahkan sejuta masalah yang kita hadapi kata-kata yang
selalu kita ucapkan sekarang terwujud jika kita benar-benar memiliki cinta yang
tulus dari hati semua masalah akan bisa dilalui dengan cinta kita yang begitu
kuat yang tak akan ada stu orangpun yang dapat memisahkan kita kecuali maut
yang akan memisahkan kita. Dan ini adalah saat terakhir kita memadu kasih
karena maut akan memisahkan kita” mendengar ucapan Rachel tersebut Radit
meneteskan air matanya.
Dukacita
orangtua yang menyaksikan pernikahan putrinya, sama dengan kebahagiaan yang
dirasakan di waktu pernikahan putra laki-lakinya Karena lelaki selalu membawa anggota baru
ke tengah-tengah keluarganya. Sementara pernikahan perempuan membuat hilangnya
satu anggota keluarga.
Janji suci telah
diucapkan kemudian Radit memasangkan cincin ke jari tangan Rachel dan saat itu
juga Rachel memejamkan matanya untuk menghadap sang kuasa dan memang benar hanya maut yang memisahkan mereka. Hati Radit
sangat terpukul mengapa disaat dia telah mengalahkan semua maslah cinta yang
ada sang kekasih meninggalkan dia untuk selamanya dia percaya denga yang
namanya
Kekuatan Cinta
atau Power Of Love. Radit tidak akan pernah menghapus segala kenangannya
bersama Rachel dan dia mulai untuk
bangkit dari semua itu karena sang kekasih telah tenang di alam sana.
Tuhan telah
menciptakan jiwa yang bersayap untuk terbang mengarungi cakrawala cinta dan
kebebasan. Banyak hal
yang kucintai tetapi dibenci orang-orang, sedangkan hal-hal yang kubenci
ternyata mereka cintai. Hal-hal yang kucintai saat ini akan kucintai sampai
akhir kehidupan nanti. Sebab menurutku cinta adalah segala yang dapat
menghilangkannya dariku.
verba polimorfemis
Selasa, 14 Januari 2014
Verba polimorfemis
Verba polimorfemis dibentuk melalui beberapa proses morfemis
yaitu
1.
Proses afiksasi menghasilkan verba berafiks
2.
Proses pengulangan menghasilkan verba ulang
3.
Proses pemajemukan menghasilkan verba majemuk
4.
Proses kombinasi menghasilkan verba kombinasi
Bentuk dasar verba polimorfemis dapat berupa bentuk tunggal,
baik bentuk bebas, bentuk terikat, maupun bentuk kompleks. Yang berupa bentuk
bebas dapat berkategori verba, adjektiva, nomina, dan numeralia
1.1
Verba berafiks
Ada empat macam verba berafiks. Pembedaan
ini didasarkan pada macam afiks yang dilekatkan pada bentuk dasar. Macam afiks
itu adalah prefiks, sufiks, infiks, dan konfiks
Proses prefiksasi menghasilkan verba
berafiks, proses sufiksasi menghasilkan verba bersufiks, proses infiksasi
menghasilokan verba infiks dan proses konfiksasi menghasilkan verba konfiks
1.11
Verba berprefiks
Verba berprefiks adalah verba yang dibentuk dengan tambahan afiks di
depan bentuk dasar. Prefiks pembentuk verba ialah N-, di, di/dipun, tak/dak,
kok, k(e), a, ma/me, mer, kuma, dan kapi
Contoh Didandan Disirnakake
1.12
Verba berinfiks
Verba berinfiks ialah verba yang dibentuk dengan menyisipkan infiks pada
bentuk dasar. Infiks pembentuk verba ialah –um, dan –in-
Contoh
1.13Verba bersufiks
Verba bersufiks ialah verba yang dibentuk dengan menambahkan sufiks pada
akhir bentuk dasar. Sufiks pembentuk verba ialah –(a)ke, -(a)ken, -I,-na, -ana,
-an, -en, dan –a
Contoh
1.14Verba berkonfiks
Verba
berkonfiks ialah verba yang dibentuk dengan menambahkan konfiks pada bentuk dasar.
Konfiks di dalam bahasa jawa ialah N-/-(a)ke, di-/-(a)ke, dipun-/-aken, N-/-I,
di-/-I, N-/-ana, di-/-ana, ka-/-an, ka-/-an, ka-/-na, ka-/-ana, -in-/-an,
-in/-ake, ka-/-ake, tak/dak-/-(a)ke, tak/dak-/-I, tak/dak-/-(a)ne, kok-/I,
mi-/-I, dan kami-/en
lakon si lan man
Lelakone
Si lan Man
Esuk
umun-umun, dhek wingi Kemis Wage kepungkur, Man nuntun pite Pak Carik menyang
pekarangane Si. Klambine sing dienggo sing apik dhewe. Clana famatek wis mbulak, nanging ya mung kuwi sing
apik duweke Man. Nganggo sepatu. Satleraman Man ketara beda karo adat saben
dinane.
“Wah,
kok bregas kowe, Man!”
Man
mringis dielem kancane ngono kuwi. Atine rada gela weruh kancane leyeh-leyeh
kaya adate ing kursi males emper omahe. Klambine jaket kandel, clana soklat wis
kawuk. Huh, ora ana warase mbungkus awake! Mangsa ketiga ngerak ngene kjakete
tetep kandel mbungkus awake! Man ngarep-arep Si mapagake tekane lanthi cakrak.
Sanajan raine tetep pucet, nanging katon gemregah, semangat. Ora leyeh-leyeh
ngono.
“Priye,
Si? Sida ora?”
“Sida.
Ning sik ta, isih esuk, dak unjal ambegan sing landhung. Sida numpak pit iki
engko?”
“La
iki, pite wis daksilihke. Duweke Pak Carik. Adate ya dakenggo, yen aku diutus
lunga-lunga. Awakmu rasane priye? Kira-kira kuwat ora?”
“Ora
papa. Kuwat, kuwat kok!”
Sanajan
Si anggone mangsuli ngono katon njiyat, nanging Man rumangsa marem. Si
ndhelikake larane, nangung Man mung nyawang apa kang katon wae. Si sakjane
lara, utawa aras-arasen. Nanging kadhung janji, arep nurtui kesenengan lelungan
karo Man. Dadi ya dikatonke yen waras. Aja nganti wurung lunga. Man api-api ora
ngerti wae. Sing diugemi apa sing disanggupake Si. Man api-api ora ngerti wae.
Man pancen kadereg bisa enggal klakon anggone
ngajak lelungan Si menyang kutha, ben ndang rampung niyate kajate, ndang
semeleh pikirane.
Si
njenggelek saka anggone leyeh-leyeh. Ngadeg, terus mlaku klemer-klemer melbu
omah. “Apa sing perlu digawa?” pitakone Si karo nglirik Man. Ora noleh. Kaya
wong tengen wae. Swarane lirih.
“Sing
digawa? Alah wong mung nglencer menyang Sragen wae sing perlu digawa apa?
Mongsok koper? Dhuwit wae sing akeh,” ujare Man semu nguyoni.
Ti,
bojone Si, melu nemoni dhayihe. Mung sinambi nginguk wae. “Kok esuk, Kang? Arep
nyang edni, ta, Leh?”
“Rak
oleh ta, Si dakjak nglencer menyang Sragen?”
“Ya
kana, yen wonge gelem.”
“Awake
mang bengi rak gak panas?”
“Kaya
ora. Mung turune rada kesoren, klisikan wae, ora bisa angler.”
Ya
mikirke anggonku arep lelungan karo Man iki. Aku budhla, ya, Ti.” Si nyaut
gunem karo banjur metu.
“Nyang
Sragen kuwi? Ya kaya ngono wae?” panambuhe Ti.
Si
maspadakake awake, ndeleng kahanane. Clana kawuk wis ganti sing apik. Liyane
pancet. Rumangsane yaw is cukup apik. Kok dicacat sing wadon? “La apa maneh?
Arep sarapan ya ora ana sing disarap.”
“Karepku
ki jakete ora ganti sing abang?”
“Lunga
awan-awan kok klambine abang. Emoh! Abah jare nggawa bilahi.”
“Ora
sarapan ora papa. Mengko neng dalan rak ana wong dodol gethuk,” sumelane man
karo mlangkring ing sadhel pite.
“Aku
budhal ya, Ti! Dongakna sla…!”
“Kathik
kaya wong arep pisahan suwe wae, donga-dinonga! Mung nyang Sragen kono wae
thik!” Ti maoni.
“Menyang
Sragen engke, yen ora slamet, rak ya pisah salawase,” panyigege Si mantepake
karepe pamit marang sing wadon. “Karo dene lagi sepisan iki lo aku lunga adoh!
Adoh tenan.”
“Iya,
iya, Kang! Dak dongakne slamet.”
Pit
wiwit dipancal dening Man. Si nggonceng buri mekekeh. “Aku mung weruh gegrmu
thok!”
“Aja
maju-maju. Ben isa nglirik dalan.”
Pit
kleser-kleser mlaku. Man noleh marang sing ditinggal. Ti katon adreg anggone
nyawang sing lanang lunga metu saka pekarangane omahe. Pandeng wadon kang kebak
rasa tersna lan ngeman. Man mesem. Kok kaya-kaya Si eman diculake! Wong wadon
kang setiya, ora tega nguculake sing lanang lunga.
“Bali-bali,
mengko sore! Aja kuwatir!” pambengoke Man marang wong wadon meteng enom kuwi
mau. Janji.
“Apa
ta?”
“Bojomu
olehe nyawang kedhep tesmak!”
Pit
liwat dalan gronjalan metu saka kampunge. Dalan isish sepi, sananjan serngenge wis trontong-trontong ngunggahi galengan
sawah. Wong ing desa kono racake tangine kalah dhisik karo muncule srengenge.
Desa pinggir alas jati, sawahe kekurangan banyu ing wayah jetiga mengkono.
Nanging yen rendheng saben taun diendhangi bludagan banyu Begawan Solo. Mula
nggarap sawah ya tansah ngati-ati banget. Setaun mung sepisan, kuwi wae kudu
ing wayah gadhu sing udane arang. Kanthi pandongan aja nganti udane ceblok
terus-terusan kang marahi Begawan Solo bena banyune mbludag ngelebi sawah.
“Saya
ngidul lemahe saya apik. Delengen parine ijo royo-royo!” Man crita marang Si.
Satemene luwih tumuju marang awake dhewe. Dudu Si wae sing ora tau metu saka
desane, dalah Man uga arang banget weruh sawah dhaerah kidulan kono.
Man
lan Si bocah klairan Bulakreja kono. Man saiki uripe buruh tani lan gelem dadi
kongkonan apa wae dening wong kampunge. Sing kerep dhewe dadi kongkonane
carike. Kena diarani Man buruh bau marang carike, sanajan ora ana perjanjian
kang gumathok.
Lakune
saiki ngambah bulak, kiwa tengen sawah. Ora kepethukan wong liya. Pit sing
ditumpaki wong loro kuwi katon ngijeni. Ora ana wit pangayoman marakake sorot
serngenge esuk rinasa sumelet. Pancen wiwit mmetu saka desane mau parane tansah
ngadohi alas jati, ngliwati lemah sing wis dicithak dadi sawah ngenthak-enthak.
Meh ora ana wit gedhe sing ditandur ing kono.
“Panase
kok ngudubilahi, ya! Gpbyos aku!” panggresahe sing dibonceng.
Man
nratap atine. “Kowe lara?”
Si
ora mangsuli. Mung ambegan landhung. Bathuke disendhekake ing gegere Man. Lali
karo pakone Man supaya mundur. “mung weruh gegermu ya wis ora papa! Aku isih
kuwat. Mung ambune kringetmu, ora betah aku!” wasana metu omonge.
Bathuk
kang tumempel ing gegere Man rinasa anget. Uga mengkis-mengkise ambgane
kanacane rinasa nyetrum gegere, oyak-oyakan karo ambegane Man dhewe. Ambegane
Man ancene menggos-menggos, wong dheweke sing nggenjot. Pit desa, elek rupane,
abot encot-encotane. Bareng mengkis-mengkise ambgane Si, kena apa? Si lara.
“Kowe
aja kumat dhisik, Si. Kae dhelengen barongane desa Jethis wis plengah-plengeh
methuki awake dhewe. Bubar Jethis, ngliwati pasare, kene bisa leren ing kono sarapan
gethuk. Yen durung kawanan ana kok wong dodol gethuk.
“O,
Allah awak-awak! Urip sepisan kok kaya mengkene!” Si nyelathu awake dhewe.
Olehe kebangeten. Ora tau waras-wiris.
“Aja
lara! Aja lara! Mujia ngono, lo, Si. Yen wis ngliwati Jethis dalane rada rame.
Wis diaspal, kene mengko ora mung barengan utawa papagan karo wong liwat.
Grobag lan truk kadhang-kadhang ya akeh kok sing ngluyur mrana. Mengko tamatana
yen kowe weruh truk. Laune banter, Si!” Dislimur! Sengaja Man crita dawa,
perlun lelungan iki ben ora rinasa kasepen. Ben anggreng. Lan Si lali karo
ringkihe awake.
Sidane
Jethis klebon kanthi ora kurang sawiji apa. Ambegan pancen ngangsur, kringet
gumrobyos. Nanging atine Man lega. Jethis sing ditrajang dalane adhum, marga
kebak barongan prng ori.
“Apa
kowe perlu leren, Si? Ambeganmu kok ngungkuli menggos-menggosku!”
“Sakaremu.
Terus ya ora papa, kok. Yan gene iki kahanan awakku saben dinane. Lerena, apa
lungguhana ing ngomah, napasku ya seseg ngene iki.”
Sakjane
Man ora perlu gumun. Dheweke wis ngreti karo lelaeane mitrane kuwi. Ambegan
seseg, guwaya pucet! Wis watara limang taun iki Si lara-laranen kaya ngono. Man
ora perlu gumun. Mung, sing dibingungke, saiki iki Si lagek sajrone lelungan
karo dheweke. Ambegan seseg kaya ngono mensthi wae gawe binggunge Man.
“Warasa,
ta, Si! Warasa! Sedina iki wae warasa! Cik bene utangku sah. Kowe bisa weruh
epur neng Sragen mengko. Jaremu kowe kepingin weruh Kutha Sragen. Mengko yen
dina iki kowe waras, klakon weruh Kutha Sragen lan weruh sepur, muga-muga
bakale salawase laramu ilang! Kuwat-kuwatna yaa, Si! Kuwatna awakmu nganti
tekan Kutha Sragen!” omonge Man nrecel.
“La
iki aku ya dakkuwat-kuwatake!” Muni ngono nanging suwarane lirih, alon lan
lemes. Tanpa kekuwatan.
“Ora
susah mandheg, ya?”