gamelan jawa pangkur

Rabu, 15 Januari 2014

 dipundhut 

anom bima maneges 6 clip 5

 dipundhut 

cerpen ku



Di malam yang indah yang penuh bintang-bintang saat itu adalah malam yang paling berharga bagi Ratna dan Rama, karena saat itu mereka sedang berdua’an . Tanpa ada satu pun masalah ataupun sedikit kejanggalan dalam hati mereka, mereka asik bercanda,bergurau berdua sampai  menghiraukan yang lain Waktupun kian larut malam Rama pun pulang dengan senyuman yang indah.
Hari telah berganti Rama dan Ratna pun melakukan aktifitas mereka masing-masing, Rama yang sibuk bekerja di sebuah pabrik di jakarta dan Ratna yang sibuk dengan handphone nya menunggu pesan dari sang kekasih tercinta, bukan Cuma itu dia pun sibuk menunggu panggilan kerja dari sebuah perusahaan di bandung. Selang beberapa jam kemudian ketika Ratna sedang sibuk dengan handphone nya ada pesan masuk dia mengira pesan dari Rama tapi ternyata panggilan kerja dari perusaha’an yang telah dia idam-idamkan selama ini untuk bekerja disana
Hari kian senja Rama telah pulang bekerja sa’at itu juga Rama terkejut dengan keberada’an Ratna yang sudah menunggunya pulang. Rama bertanya kepada Ratna “sayang kamu kenapa bisa ada disini ?, tanpa menelfon ku dulu” Ratna pun menjawab”sayang aku ingin memberikan surprise buwat kamu, karena aku diterima kerja di perusaha’an yang selama ini aku impikan.” Rama merasa bangga dan senang tapi dalam hatinya merasa sedikit sedih karena akan berpisah dengan puja’an hatinya.
Keberangkatan Ratna untuk bekerja di perusaha’an besar di Bandung tinggal menghitung hari Rama merasa sedih harus berhubungan jauh dengan puja’an hatinya tapi dia merelakan demi impian Ratna selama ini.2 hari kemudian Ratna bergegas untuk berangkat ke bandung dengan bercucuran air mata mengantar kepergian Ratna, “Pergilah kasih kejarlah keinginanmu selagi masih ada waktu jangan hiraukan diri ku,aku rela berpisah untukmu semoga tercapai sgala keinginanmu” kata-kata itulah yang diucapkan Rama untuk keberangkatan Ratna,dia ytak dapat membendung air matanya.
Beberapa hari kemudian ketika Ratna sudah memulai pekerja’anya sebagai sekertaris dan juga menjalani hubungan jarak jauhnya dengan Rama tak ada masalah apapun semua berjalan dengan baik. Namun ketika Ratna pulang ke jakarta bertemu puja’an hatinya dia sedang berdu’an dengan cewek lain yang tidak diketahui oleh Ratna siapa cewek itu sebenarnya. Hati Ratna pun seperti teriris kesakitan yang teramat dalam

power of



POWER OF LOVE
Di sebuah taman dekat sekolah disanalah Rachel dan Radit sering meluangkan waktunya untuk berduaan. Mereka ini adalah pasangan kekasih yang selalu bersama selalu terlihat mesra walaupun kenyataannya mereka memiliki masalah yang sangat begitu besar bagi hubungan mereka, namun mereka tak memeperlihatkan hal  itu bahkan teman-teman Rachel pun tidak pernah mengetahui jika mereka memiliki masalah karena mereka tidak ingin orang lain tahu dengan masalah yang dialami mereka dan juga karena  memiliki cinta yang tulus cinta yang berasal dari hati bukan dari harta, tahta ataupun rupa. Rachel sangat mencintai Radit begitu juga Radit, namun Rachel merasa dirinya tak pantas buwat Radit karena ketidaksempurnaan Rachel hal itu yang menyebabkan Rachel bersedih, dia mengidap penyakit kanker lambung. Walaupun Radit mengetahui bahwa sang kekasih sakit dia tetap tidak merubah rasa sayang dan cintanya kepada Rachel bahkan dia mengorbankan semuanya agar bisa selalu ada untuk sang pujaan hati dia bisa dibilang mirip kayak hansip yang selalu menjaga 24 jam demi keamanan. Cinta itu memang tak selamanya berjalan dengan mudah banyak lika-liku dalam menjalani hubungan. Seperti yang pernah dibilang oleh salah satu dosen sepupuku yang berada di semarang  yang mengatakan bahwa “Hidup Itu Harus Mengalami Kesusahan Jika Tidak Ingin Merasa Susah atau Gagal Lebih Baik Mat”i, begitu juga dengan hubungan yang dijalani oleh sepasang kekasih ini yang tidak hanya mendapatkan masalah dari sakit yang diderita Rachel namun mereka juga mengalami masalah yaitu tidak adanya restu dari orang tua Rachel karena adanya perbedaan keyakinan.
Waktu terus berlalu mereka pun sering jalan berdua melepaskan penat dan beban yang mereka pikul namun itu semua tidak begitu mereka pikirkan karena dengan kekuatan cinta yang tulus yang mereka miliki akan mengalahkan semuwa masalah dan dapat mereka lalui bersama. Suatu ketika Radit datang ke rumah Rachel berniat untuk menjenguk Rachel yang sedang sakit dan bersilaturrahmi dengan orangtuanya,pada saat  itu pula Radit memberanikan diri bilang kepada orang tua Rachel untuk meresmikan hubungan mereka ke jenjang pernikahan wajar karena mereka telah menjalin hubungan selama 5tahun sejak mereka di perguruan tinggi yang sama. Namun ayah Rachel tidak menerimanya karena Radit mempunyai keyakinan yang berbeda dengan keluarga Rachel  memberikan syarat jika memang Radit benar-benar sayang dan cinta kepada Rachel tulus apa adanya dan benar-benar ingin menjadikan Rachel calon istri dia harus pindah keyakinan yang sama dengan keluarga Rachel. Hal ini membuat Radit tak kuasa untuk melaluinya namun sang kekasih yang selalu disisihnya memberikan semangat dan mengingatkan dengan sebuah kata yang selalu mereka ucapkan jika kita benar-benar memiliki cinta yang tulus dari hati semua masalah akan bisa dilalui dengan cinta kita yang begitu kuat yang tak akan ada stu orangpun yang dapat memisahkan kita kecuali maut yang akan memisahkan kita. Mendengar kata-kata itu hati Radit terennyuh dan bangkit dari permasalahan tersebut.
Setelah mendapatkan persyaratan tersebut Radit berusaha membicarakan kepada orang tuanya, namun orang tuanya menentang dia untuk melakukan persyaratan yang dianggap konyol dengan orang tua Radit. Masalah semakin rumit Radit kehilangan semangat dan tak tahu lagi harus berbuat apa. Hari demi hari tlah mereka lalui dengan sejuta masalah cinta yang mereka hadapi. Pada sore hari Radit mengajak Rachel pergi ke taman biasa di sana mereka menghabiskan waktu dengan

melakukan hal yang menyenangkan, saat mereka asyik bermain tiba-tiba Rachel kambuh dan jatuh pingsan Radit panik dan kemudian membawanya ke rumah sakit. Keluarga Rachel sangat cemas melihat keadaan putrinya yang berbaring lemah diatas tempat tidur Radit selalu setia menunggu dan selalu mendampingi sang kekasih di rumah sakit sampai Rachel sadar dari komanya.
Selama Rachel koma Radit terus memikirkan syarat yang diberikan dari orang tua Rachel dia memberanikan diri untuk bilang dan memohon kepada kedua orang tuanya agar pindah keyakinan seperti apa yang dipersyaratkan orang tua Rachel, namun orang tuanya tetap tidak mengizinkan kepada Radit untuk pindah keyakinan hatinya sangat terpukul lalu dia mengajak orang tuanya untuk menjenguk Rachel yang sedang berbaring lemah di rumah sakit ketika orang tuanya melihat keadaan Rachel hati mereka sangat teriris karena mereka tahu Rachel adalah seorang gadis yang baik yang sangat menyanyangi putranya pada saat itu orang tua Radit berubah pikiran untuk mengizinkan Radit pindah keyakinan.
Di sinilah Cinta mulai menerjemahkan prosa kehidupan ke dalam himne dan lagu pujian, dengan musik yang digubah oleh malam dan dinyanyikan oleh pagi                                                                                                Di sinilah Cinta menyingkapkan cadar dan menerangi lekuk-lekuk hati, menciptakan puncak kebahagiaan kala sukma menyembah Tuhan.
Ketika telah mendapatkan restu akhirnya Radit memeluk agama islam itu berkat perjuangannya dan kekuatan cinta yang mereka miliki. Pada saat Radit telah memeluk islam Rachel terbangun dari komanya dan langsung seketika dia memberikan kabar bahagia itu kepada Rachel dan Rachel pun sangat senang sekali. Radit langsung mempersiapkan segala kebutuhan untuk pernikahannya
Tiba waktu pernikahan mereka namun Rachel masih belum diperbolehkan pulang akhirnya mereka melangsungkan pernikahan di rumah sakit sebelum Radit mengucapkan janji suci untuk Rachel.  Rachel mengucapkan sesuatu “kamu telah berhasil mengalahkan sejuta masalah yang kita hadapi kata-kata yang selalu kita ucapkan sekarang terwujud jika kita benar-benar memiliki cinta yang tulus dari hati semua masalah akan bisa dilalui dengan cinta kita yang begitu kuat yang tak akan ada stu orangpun yang dapat memisahkan kita kecuali maut yang akan memisahkan kita. Dan ini adalah saat terakhir kita memadu kasih karena maut akan memisahkan kita” mendengar ucapan Rachel tersebut Radit meneteskan air matanya.
Dukacita orangtua yang menyaksikan pernikahan putrinya, sama dengan kebahagiaan yang dirasakan di waktu pernikahan putra laki-lakinya                                                                           Karena lelaki selalu membawa anggota baru ke tengah-tengah keluarganya. Sementara pernikahan perempuan membuat hilangnya satu anggota keluarga.




Janji suci telah diucapkan kemudian Radit memasangkan cincin ke jari tangan Rachel dan saat itu juga Rachel memejamkan matanya untuk menghadap sang kuasa dan memang benar  hanya maut yang memisahkan mereka. Hati Radit sangat terpukul mengapa disaat dia telah mengalahkan semua maslah cinta yang ada sang kekasih meninggalkan dia untuk selamanya dia percaya denga yang namanya
Kekuatan Cinta atau Power Of Love. Radit tidak akan pernah menghapus segala kenangannya bersama Rachel  dan dia mulai untuk bangkit dari semua itu karena sang kekasih telah tenang di alam sana.
Tuhan telah menciptakan jiwa yang bersayap untuk terbang mengarungi cakrawala cinta dan kebebasan.                                                                                                                                           Banyak hal yang kucintai tetapi dibenci orang-orang, sedangkan hal-hal yang kubenci ternyata mereka cintai. Hal-hal yang kucintai saat ini akan kucintai sampai akhir kehidupan nanti. Sebab menurutku cinta adalah segala yang dapat menghilangkannya dariku.

anom bima maneges 6

 dipundhut 

gamelan lir-ilir

 dipundhut 

wayang anom bima maneges

 dipundhut 

macapat kinanthi

 dipundhut 

macapat

 dipundhut 

verba polimorfemis

Selasa, 14 Januari 2014



Verba polimorfemis
Verba polimorfemis dibentuk melalui beberapa proses morfemis yaitu
1.       Proses afiksasi menghasilkan verba berafiks
2.       Proses pengulangan menghasilkan verba ulang
3.       Proses pemajemukan menghasilkan verba majemuk
4.       Proses kombinasi menghasilkan verba kombinasi
Bentuk dasar verba polimorfemis dapat berupa bentuk tunggal, baik bentuk bebas, bentuk terikat, maupun bentuk kompleks. Yang berupa bentuk bebas dapat berkategori verba, adjektiva, nomina, dan numeralia
1.1   Verba berafiks
Ada empat macam verba berafiks. Pembedaan ini didasarkan pada macam afiks yang dilekatkan pada bentuk dasar. Macam afiks itu adalah prefiks, sufiks, infiks, dan konfiks
Proses prefiksasi menghasilkan verba berafiks, proses sufiksasi menghasilkan verba bersufiks, proses infiksasi menghasilokan verba infiks dan proses konfiksasi menghasilkan verba konfiks
1.11                        Verba berprefiks
Verba berprefiks adalah verba yang dibentuk dengan tambahan afiks di depan bentuk dasar. Prefiks pembentuk verba ialah N-, di, di/dipun, tak/dak, kok, k(e), a, ma/me, mer, kuma, dan kapi
Contoh Didandan Disirnakake
1.12                       Verba berinfiks
Verba berinfiks ialah verba yang dibentuk dengan menyisipkan infiks pada bentuk dasar. Infiks pembentuk verba ialah –um, dan –in-
Contoh
1.13Verba bersufiks
Verba bersufiks ialah verba yang dibentuk dengan menambahkan sufiks pada akhir bentuk dasar. Sufiks pembentuk verba ialah –(a)ke, -(a)ken, -I,-na, -ana, -an, -en, dan –a
Contoh
1.14Verba berkonfiks
Verba berkonfiks ialah verba yang dibentuk dengan menambahkan konfiks pada bentuk dasar. Konfiks di dalam bahasa jawa ialah N-/-(a)ke, di-/-(a)ke, dipun-/-aken, N-/-I, di-/-I, N-/-ana, di-/-ana, ka-/-an, ka-/-an, ka-/-na, ka-/-ana, -in-/-an, -in/-ake, ka-/-ake, tak/dak-/-(a)ke, tak/dak-/-I, tak/dak-/-(a)ne, kok-/I, mi-/-I, dan kami-/en

lakon si lan man



Lelakone Si lan Man
Esuk umun-umun, dhek wingi Kemis Wage kepungkur, Man nuntun pite Pak Carik menyang pekarangane Si. Klambine sing dienggo sing apik dhewe. Clana  famatek wis mbulak, nanging ya mung kuwi sing apik duweke Man. Nganggo sepatu. Satleraman Man ketara beda karo adat saben dinane.
“Wah, kok bregas kowe, Man!”
Man mringis dielem kancane ngono kuwi. Atine rada gela weruh kancane leyeh-leyeh kaya adate ing kursi males emper omahe. Klambine jaket kandel, clana soklat wis kawuk. Huh, ora ana warase mbungkus awake! Mangsa ketiga ngerak ngene kjakete tetep kandel mbungkus awake! Man ngarep-arep Si mapagake tekane lanthi cakrak. Sanajan raine tetep pucet, nanging katon gemregah, semangat. Ora leyeh-leyeh ngono.
“Priye, Si? Sida ora?”
“Sida. Ning sik ta, isih esuk, dak unjal ambegan sing landhung. Sida numpak pit iki engko?”
“La iki, pite wis daksilihke. Duweke Pak Carik. Adate ya dakenggo, yen aku diutus lunga-lunga. Awakmu rasane priye? Kira-kira kuwat ora?”
“Ora papa. Kuwat, kuwat kok!”
Sanajan Si anggone mangsuli ngono katon njiyat, nanging Man rumangsa marem. Si ndhelikake larane, nangung Man mung nyawang apa kang katon wae. Si sakjane lara, utawa aras-arasen. Nanging kadhung janji, arep nurtui kesenengan lelungan karo Man. Dadi ya dikatonke yen waras. Aja nganti wurung lunga. Man api-api ora ngerti wae. Sing diugemi apa sing disanggupake Si. Man api-api ora ngerti wae. Man pancen kadereg bisa enggal klakon anggone  ngajak lelungan Si menyang kutha, ben ndang rampung niyate kajate, ndang semeleh pikirane.
Si njenggelek saka anggone leyeh-leyeh. Ngadeg, terus mlaku klemer-klemer melbu omah. “Apa sing perlu digawa?” pitakone Si karo nglirik Man. Ora noleh. Kaya wong tengen wae. Swarane lirih.
“Sing digawa? Alah wong mung nglencer menyang Sragen wae sing perlu digawa apa? Mongsok koper? Dhuwit wae sing akeh,” ujare Man semu nguyoni.
Ti, bojone Si, melu nemoni dhayihe. Mung sinambi nginguk wae. “Kok esuk, Kang? Arep nyang edni, ta, Leh?”
“Rak oleh ta, Si dakjak nglencer menyang Sragen?”
“Ya kana, yen wonge gelem.”
“Awake mang bengi rak gak panas?”
“Kaya ora. Mung turune rada kesoren, klisikan wae, ora bisa angler.”
Ya mikirke anggonku arep lelungan karo Man iki. Aku budhla, ya, Ti.” Si nyaut gunem karo banjur metu.
“Nyang Sragen kuwi? Ya kaya ngono wae?” panambuhe Ti.
Si maspadakake awake, ndeleng kahanane. Clana kawuk wis ganti sing apik. Liyane pancet. Rumangsane yaw is cukup apik. Kok dicacat sing wadon? “La apa maneh? Arep sarapan ya ora ana sing disarap.”
“Karepku ki jakete ora ganti sing abang?”
“Lunga awan-awan kok klambine abang. Emoh! Abah jare nggawa bilahi.”
“Ora sarapan ora papa. Mengko neng dalan rak ana wong dodol gethuk,” sumelane man karo mlangkring ing sadhel pite.
“Aku budhal ya, Ti! Dongakna sla…!”
“Kathik kaya wong arep pisahan suwe wae, donga-dinonga! Mung nyang Sragen kono wae thik!” Ti maoni.
“Menyang Sragen engke, yen ora slamet, rak ya pisah salawase,” panyigege Si mantepake karepe pamit marang sing wadon. “Karo dene lagi sepisan iki lo aku lunga adoh! Adoh tenan.”
“Iya, iya, Kang! Dak dongakne slamet.”
Pit wiwit dipancal dening Man. Si nggonceng buri mekekeh. “Aku mung weruh gegrmu thok!”
“Aja maju-maju. Ben isa nglirik dalan.”
Pit kleser-kleser mlaku. Man noleh marang sing ditinggal. Ti katon adreg anggone nyawang sing lanang lunga metu saka pekarangane omahe. Pandeng wadon kang kebak rasa tersna lan ngeman. Man mesem. Kok kaya-kaya Si eman diculake! Wong wadon kang setiya, ora tega nguculake sing lanang lunga.
“Bali-bali, mengko sore! Aja kuwatir!” pambengoke Man marang wong wadon meteng enom kuwi mau. Janji.
“Apa ta?”
“Bojomu olehe nyawang kedhep tesmak!”
Pit liwat dalan gronjalan metu saka kampunge. Dalan isish sepi, sananjan serngenge  wis trontong-trontong ngunggahi galengan sawah. Wong ing desa kono racake tangine kalah dhisik karo muncule srengenge. Desa pinggir alas jati, sawahe kekurangan banyu ing wayah jetiga mengkono. Nanging yen rendheng saben taun diendhangi bludagan banyu Begawan Solo. Mula nggarap sawah ya tansah ngati-ati banget. Setaun mung sepisan, kuwi wae kudu ing wayah gadhu sing udane arang. Kanthi pandongan aja nganti udane ceblok terus-terusan kang marahi Begawan Solo bena banyune mbludag ngelebi sawah.
“Saya ngidul lemahe saya apik. Delengen parine ijo royo-royo!” Man crita marang Si. Satemene luwih tumuju marang awake dhewe. Dudu Si wae sing ora tau metu saka desane, dalah Man uga arang banget weruh sawah dhaerah kidulan kono.
Man lan Si bocah klairan Bulakreja kono. Man saiki uripe buruh tani lan gelem dadi kongkonan apa wae dening wong kampunge. Sing kerep dhewe dadi kongkonane carike. Kena diarani Man buruh bau marang carike, sanajan ora ana perjanjian kang gumathok.
Lakune saiki ngambah bulak, kiwa tengen sawah. Ora kepethukan wong liya. Pit sing ditumpaki wong loro kuwi katon ngijeni. Ora ana wit pangayoman marakake sorot serngenge esuk rinasa sumelet. Pancen wiwit mmetu saka desane mau parane tansah ngadohi alas jati, ngliwati lemah sing wis dicithak dadi sawah ngenthak-enthak. Meh ora ana wit gedhe sing ditandur ing kono.
“Panase kok ngudubilahi, ya! Gpbyos aku!” panggresahe sing dibonceng.
Man nratap atine. “Kowe lara?”
Si ora mangsuli. Mung ambegan landhung. Bathuke disendhekake ing gegere Man. Lali karo pakone Man supaya mundur. “mung weruh gegermu ya wis ora papa! Aku isih kuwat. Mung ambune kringetmu, ora betah aku!” wasana metu omonge.
Bathuk kang tumempel ing gegere Man rinasa anget. Uga mengkis-mengkise ambgane kanacane rinasa nyetrum gegere, oyak-oyakan karo ambegane Man dhewe. Ambegane Man ancene menggos-menggos, wong dheweke sing nggenjot. Pit desa, elek rupane, abot encot-encotane. Bareng mengkis-mengkise ambgane Si, kena apa? Si lara.
“Kowe aja kumat dhisik, Si. Kae dhelengen barongane desa Jethis wis plengah-plengeh methuki awake dhewe. Bubar Jethis, ngliwati pasare, kene bisa leren ing kono sarapan gethuk. Yen durung kawanan ana kok wong dodol gethuk.
“O, Allah awak-awak! Urip sepisan kok kaya mengkene!” Si nyelathu awake dhewe. Olehe kebangeten. Ora tau waras-wiris.
“Aja lara! Aja lara! Mujia ngono, lo, Si. Yen wis ngliwati Jethis dalane rada rame. Wis diaspal, kene mengko ora mung barengan utawa papagan karo wong liwat. Grobag lan truk kadhang-kadhang ya akeh kok sing ngluyur mrana. Mengko tamatana yen kowe weruh truk. Laune banter, Si!” Dislimur! Sengaja Man crita dawa, perlun lelungan iki ben ora rinasa kasepen. Ben anggreng. Lan Si lali karo ringkihe awake.
Sidane Jethis klebon kanthi ora kurang sawiji apa. Ambegan pancen ngangsur, kringet gumrobyos. Nanging atine Man lega. Jethis sing ditrajang dalane adhum, marga kebak barongan prng ori.
“Apa kowe perlu leren, Si? Ambeganmu kok ngungkuli menggos-menggosku!”
“Sakaremu. Terus ya ora papa, kok. Yan gene iki kahanan awakku saben dinane. Lerena, apa lungguhana ing ngomah, napasku ya seseg ngene iki.”
Sakjane Man ora perlu gumun. Dheweke wis ngreti karo lelaeane mitrane kuwi. Ambegan seseg, guwaya pucet! Wis watara limang taun iki Si lara-laranen kaya ngono. Man ora perlu gumun. Mung, sing dibingungke, saiki iki Si lagek sajrone lelungan karo dheweke. Ambegan seseg kaya ngono mensthi wae gawe binggunge Man.
“Warasa, ta, Si! Warasa! Sedina iki wae warasa! Cik bene utangku sah. Kowe bisa weruh epur neng Sragen mengko. Jaremu kowe kepingin weruh Kutha Sragen. Mengko yen dina iki kowe waras, klakon weruh Kutha Sragen lan weruh sepur, muga-muga bakale salawase laramu ilang! Kuwat-kuwatna yaa, Si! Kuwatna awakmu nganti tekan Kutha Sragen!” omonge Man nrecel.
“La iki aku ya dakkuwat-kuwatake!” Muni ngono nanging suwarane lirih, alon lan lemes. Tanpa kekuwatan.
“Ora susah mandheg, ya?”